Rabu, 06 Maret 2013

revolusi prancis

Revolusi Perancis adalah masa dalam sejarah Perancis antara tahun 1789 dan 1799 di mana para demokrat dan pendukung republikanisme menjatuhkan monarki absolut di Perancis dan memaksa Gereja Katolik Roma menjalani restrukturisasi yang radikal.
Meski Perancis kemudian akan berganti sistem antara republik, kekaisaran, dan monarki selama 1 bulan setelah Republik Pertama Perancis jatuh dalam kudeta yang dilakukan oleh Napoleon Bonaparte, revolusi ini dengan jelas mengakhiri ancien régime (bahasa Indonesia: Rezim Lama; merujuk kepada kekuasaan dinasti seperti Valois dan Bourbon) dan menjadi lebih penting daripada revolusi-revolusi berikutnya yang terjadi di Perancis.

 Penyebab

Banyak faktor yang menyebabkan revolusi ini. Salah satu di antaranya adalah karena sikap orde yang lama terlalu kaku dalam menghadapi dunia yang berubah. Penyebab lainnya adalah karena ambisi yang berkembang dan dipengaruhi oleh ide Pencerahan dari kaum borjuis, kaum petani, para buruh, dan individu dari semua kelas yang merasa disakiti. Sementara revolusi berlangsung dan kekuasaan beralih dari monarki ke badan legislatif, kepentingan-kepentingan yang berbenturan dari kelompok-kelompok yang semula bersekutu ini kemudian menjadi sumber konflik dan pertumpahan darah.
Sebab-sebab Revolusi Perancis mencakup hal-hal di bawah ini:

  • Kemarahan terhadap absolutisme kerajaan.
  • Kemarahan terhadap sistem seigneurialisme di kalangan kaum petani, para buruh, dan—sampai batas tertentu—kaum borjuis.
  • Bangkitnya gagasan-gagasan Pencerahan
  • Utang nasional yang tidak terkendali, yang disebabkan dan diperparah oleh sistem pajak yang tak seimbang.
  • Situasi ekonomi yang buruk, sebagian disebabkan oleh keterlibatan Perancis dan bantuan terhadap Revolusi Amerika.
  • Kelangkaan makanan di bulan-bulan menjelang revolusi.
  • Kemarahan terhadap hak-hak istimewa kaum bangsawan dan dominasi dalam kehidupan publik oleh kelas profesional yang ambisius.
  • Kebencian terhadap intoleransi agama.
  • Kegagalan Louis XVI untuk menangani gejala-gejala ini secara efektif.
Aktivitas proto-revolusioner bermula ketika raja Perancis Louis XVI (memerintah 1774-1792) menghadapi krisis dana kerajaan. Keluarga raja Perancis, yang secara keuangan sama dengan negara Perancis, memiliki utang yang besar. Selama pemerintahan Louis XV (1715-1774) dan Louis XVI sejumlah menteri, termasuk Turgot (Pengawas Keuangan Umum 1774-1776) dan Jacques Necker (Direktur-Jenderal Keuangan 1777-1781), mengusulkan sistem perpajakan Perancis yang lebih seragam, namun gagal. Langkah-langkah itu mendapatkan tantangan terus-menerus dari parlement (pengadilan hukum), yang didominasi oleh "Para Bangsawan", yang menganggap diri mereka sebagai pengawal nasional melawan pemerintahan yang sewenang-wenang, dan juga dari fraksi-fraksi pengadilan. Akibatnya, kedua menteri itu akhirnya diberhentikan. Charles Alexandre de Calonne, yang menjadi Pengawas Umum Keuangan pada 1783, mengembangkan strategi pengeluaran yang terbuka sebagai cara untuk meyakinkan calon kreditur tentang kepercayaan dan stabilitas keuangan Perancis.
Namun, setelah Callone melakukan peninjauan yang mendalam terhadap situasi keuangan Perancis, menetapkan bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan, dan karenanya ia mengusulkan pajak tanah yang seragam sebagai cara untuk memperbaiki keuangan Perancis dalam jangka panjang. Dalam jangka pendek, dia berharap bahwa dukungan dari Dewan Kaum Terkemuka yang dipilih raja akan mengemalikan kepercayaan akan keuangan Perancis, dan dapat memberikan pinjaman hingga pajak tanah mulai memberikan hasilnya dan memungkinkan pembayaran kembali dari utang tersebut.
Meskipun Callone meyakinkan raja akan pentingnya pembaharuannya, Dewan Kaum Terkemuka menolak untuk mendukung kebijakannya, dan berkeras bahwa hanya lembaga yang betul-betul representatif, seyogyanya Estates-General (wakil-wakil berbagai golongan) Kerajaan, dapat menyetujui pajak baru. Raja, yang melihat bahwa Callone akan menjapada masalah baginya, memecatnya dan menggantikannya dengan Étienne Charles de Loménie de Brienne, Uskup Agung Toulouse, yang merupakan pemimpin oposisi di Dewan. Brienne sekarang mengadopsi pembaruan menyeluruh, memberikan berbagai hak sipil (termasuk kebebasan beribadah kepada kaum Protestan), dan menjanjikan pembentukan Etats-Généraux dalam lima tahun, tetapi ssementara itu juga mencoba melanjutkan rencana Calonne. Ketika langkah-langkah ini ditentang di Parlement Paris (sebagian karena Raja tidak bijaksana), Brienne mulai menyerang, mencoba membubarkan seluruh "parlement" dan mengumpulkan pajak baru tanpa peduli terhadap mereka. Ini menyebabkan bangkitnya perlawanan massal di banyak bagian di Perancis, termasuk "Day of the Tiles" yang terkenal di Grenoble. Yang lebih penting lagi, kekacauan di seluruh Perancis meyakinkan para kreditor jangka-pendek. Keuangan Prancis sangat tergantung pada mereka untuk mempertahankan kegiatannya sehari-hari untuk menarik pinjaman mereka, menyebabkan negara hampir bangkrut, dan memaksa Louis dan Brienne untuk menyerah.
Raja setuju pada 8 Agustus 1788 untuk mengumpulkan Estates-General pada Mei 1789 untuk pertama kalinya sejak 1614. Brienne mengundurkan diri pada 25 Agustus 1788, dan Necker kembali bertanggung jawab atas keuangan nasional. Dia menggunakan posisinya bukan untuk mengusulkan langkah-langkah pembaruan yang baru, melainkan untuk menyiapkan pertemuan wakil-wakil nasional.

[sunting] Sejarah

 Etats-Généraux 1789

Pembentukan Etats-Généraux menyebabkan berkembangnya keprihatinan pada pihak oposisi bahwa pemerintah akan berusaha seenaknya membentuk sebuah Dewan sesuai keinginannya. Untuk menghindarinya, Parlement Paris, setelah kembali ke kota dengan kemenangan, mengumumkan bahwa Etats-Généraux harus dibentuk sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam pertemuan sebelumnya. Meskipun kelihatannya para politikus tidak memahami "ketentuan-ketentuan 1614" ketika mereka membuat keputusan ini, hal ini membangkitkan kehebohan. Estates 1614 terdiri dari jumlah wakil yang sama dari setiap kelompok dan pemberian suara dilakukan menurut urutan, yaitu Kelompok Pertama (para rohaniwan), Kelompok Kedua (para bangsawan), dan Kelompok Ketiga (lain-lain), masing-masing mendapatkan satu suara.
Segera setelah itu, "Komite Tiga Puluh", sebuah badan yang terdiri atas penduduk Paris yang liberal, mulai melakukan agitasi melawannya, menuntut agar Kelompok Ketiga digandakan dan pemungutan suara dilakukan per kepala (seperti yang telah dilakukan dalam berbagai dewan perwakilan daerah). Necker, yang berbicara untuk pemerintah, mengakui lebih jauh bahwa Kelompok Ketiga harus digandakan, tetapi masalah pemungutan suara per kepala harus diserahkan kepada pertemuan Etats sendiri. Namun kemarahan yang dihasilkan oleh pertikaian itu tetap mendalam, dan pamflet-pamflet, seperti tulisan Abbé Sieyès Apakah Kelompok Ketiga itu? yang berpendapat bahwa ordo-ordo yang memiliki hak-hak istimewa adalah parasit, dan Kelompok Ketiga adalah bangsa itu sendiri, membuat kemarahan itu tetap bertahan.
Ketika Etats-Généraux bertemu di Versailles pada 5 Mei 1789, pidato-pidato panjang oleh Necker dan Lamoignon, yang bertugas menyimpan meterai, tidak banyak membantu untuk memberikan bimbingan kepada para wakil, yang dikembalikan ke tempat-tempat pertemuan terpisah untuk membuktikan kredensi para panggotanya. Pertanyaan tentang apakah pemilihan suara akhirnya akan dilakukan per kepala atau diambil dari setiap orde sekali lagi disingkirkan untuk sementara waktu, namun Kelompok Ketiga kini menuntut agar pembuktian kredensi itu sendiri harus dilakukan sebagai kelompok. Namun, perundingan-perundingan dengan kelompok-kelompok lain untuk mencapai hal ini tidak berhasil, karena kebanyakan rohaniwan dan kaum bangsawan tetap mendukung pemungutan suara yang diwakili oleh setiap orde.

 Majelis Nasional

Pada tanggal 28 Mei 1789, Romo Sieyès memindahkan Estate Ketiga itu, kini bertemu sebagai Communes (bahasa Indonesia: "Majelis Perwakilan Rendah"), memulai pembuktian kekuasaannya sendiri dan mengundang 2 estate lainnya untuk ambil bagian, namun bukan untuk menunggu mereka. Mereka memulai untuk berbuat demikian, menyelesaikan proses itu pada tanggal 17 Juni. Lalu mereka mengusulkan langkah yang jauh lebih radikal, menyatakan diri sebagai Majelis Nasional, majelis yang bukan dari estate namun dari "rakyat". Mereka mengundang golongan lain untuk bergabung dengan mereka, namun kemudian nampak jelas bahwa mereka cenderung memimpin urusan luar negeri dengan atau tanpa mereka.
Louis XVI menutup Salle des États di mana majelis itu bertemu. Majelis itu memindahkan pertemuan ke lapangan tenis raja, di mana mereka mereka mulai mengucapkan Sumpah Lapangan Tenis (20 Juni 1789), di mana mereka setuju untuk tidak berpisah hingga bisa memberikan sebuah konstitusi untuk Perancis. Mayoritas perwakilan dari pendeta segera bergabung dengan mereka, begitupun 57 anggota bangsawan. Dari tanggal 27 Juni kumpulan kerajaan telah menyerah pada lahirnya, meski militer mulai tiba dalam jumlah besar di sekeliling Paris dan Versailles. Pesan dukungan untuk majelis itu mengalir dari Paris dan kota lainnya di Perancis. Pada tanggal 9 Juli, majelis itu disusun kembali sebagai Majelis Konstituante Nasiona
  Majelis Konstituante Nasional

Kemerdekaan Memimpin Rakyat (La liberté guidant le peuple).

 Serbuan ke Bastille

Pada tanggal 11 Juli 1789, Raja Louis, yang bertindak di bawah pengaruh bangsawan konservatif dari dewan kakus umumnya, begitupun permaisurinya Marie Antoinette, dan saudaranya Comte d'Artois, membuang menteri reformis Necker dan merekonstruksi kementerian secara keseluruhan. Kebanyakan rakyat Paris, yang mengira inilah mulainya kup kerajaan, turut ke huru-hara terbuka. Beberapa anggota militer bergabung dengan khalayak; lainnya tetap netral.
Pada tanggal 14 Juli 1789, setelah pertempuran 4 jam, massa menduduki penjara Bastille, membunuh gubernur, Marquis Bernard de Launay, dan beberapa pengawalnya. Walaupun orang Paris hanya membebaskan 7 tahanan; 4 pemalsu, 2 orang gila, dan seorang penjahat seks yang berbahaya, Bastille menjadi simbol potensial bagi segala sesuatu yang dibenci pada masa ancien régime. Kembali ke Hôtel de Ville (balai kota), massa mendakwa prévôt des marchands (seperti wali kota) Jacques de Flesselles atas pengkhianatan; pembunuhan terhadapnya terjadi dalam perjalanan ke sebuah pengadilan pura-pura di Palais Royal.
Raja dan pendukung militernya mundur turun, setidaknya sejak beberapa waktu yang lalu. Lafayette menerima komando Garda Nasional di Paris; Jean-Sylvain Bailly, presiden Majelis Nasional pada masa Sumpah Lapangan Tenis, menjadi wali kota di bawah struktur baru pemerintahan yang dikenal sebagai commune. Raja mengunjungi Paris, di mana, pada tanggal 27 Juli, ia menerima kokade triwarna, begitupun pekikan vive la Nation "Hidup Negara" diubah menjadi vive le Roi "Hidup Raja".
Namun, setelah kekacauan ini, para bangsawan, yang sedikit terjamin oleh rekonsiliasi antara raja dan rakyat yang nyata dan, seperti yang terbukti, sementara, mulai pergi dari negeri itu sebagai émigré, beberapa dari mereka mulai merencanakan perang saudara di kerajaan itu dan menghasut koalisi Eropa menghadapi Perancis.
Necker, yang dipanggil kembali ke jabatannya, mendapatkan kemenangan yang tak berlangsung lama. Sebagai seorang pemodal yang cerdik namun bukan politikus yang lihai, ia terlalu banyak meminta dan menghasilkan amnesti umum, kehilangan sebagian besar dukungan rakyat dalam masa kemenangannya yang nyata.
Menjelang akhir Juli huru-hara dan jiwa kedaulatan rakyat menyebar ke seluruh Perancis. Di daerah pedesaan, hal ini ada di tengah-tengah mereka: beberapa orang membakar akta gelar dan tak sedikit pun terdapat châteaux, sebagai bagian pemberontakan petani umum yang dikenal sebagai "la Grande Peur" (Ketakutan Besar).

Penghapusan feodalisme

Untuk diskusi lebih rinci, lihat Penghapusan feodalisme.
Pada tanggal 4 Agustus 1789, Majelis Nasional menghapuskan feodalisme, hak ketuanan Estate Kedua dan sedekah yang didapatkan oleh Estate Pertama. Dalam waktu beberapa jam, sejumlah bangsawan, pendeta, kota, provinsi, dan perusahaan kehilangan hak istimewanya.
Sementara akan ada tanda mundur, penyesalan, dan banyak argumen atas rachat au denier 30 ("penebusan pada pembelian 30 tahun") yang dikhususkan dalam legislasi 4 Agustus, masalah masih mandek, meski proses penuh akan terjadi di 4 tahun yang lain.

Dekristenisasi

Revolusi membawa perubahan besar-besaran pada kekuasaan dari Gereja Katolik Roma kepada negara. Legislasi yang berlaku pada tahun 1790 menghapuskan otoritas gereja untuk menarik pajak hasil bumi yang dikenal sebagai dîme (sedekah), menghapuskan hak khusus untuk pendeta, dan menyita kekayaan geraja; di bawah ancien régime, gereja telah menjadi pemilik tanah terbesar di negeri ini. Legislasi berikutnya mencoba menempatkan pendeta di bawah negara, menjadikannya pekerja negeri. Tahun-tahun berikutnya menyaksikan penindasan penuh kekerasan terhadap para pendeta, termasuk penahanan dan pembantaian para pendeta di seluruh Perancis. Concordat 1801 antara Napoleon dan gereja mengakhiri masa dekristenisasi dan mendirikan aturan untuk hubungan antara Gereja Katolik dan Negara Perancis yang berlangsung hingga dicabut oleh Republik Ketiga pada pemisahan gereja dan agama pada tanggal 11 Desember 1905.

 Kemunculan berbagai faksi

Faksi-faksi dalam majelis tersebut mulai bermunculan. Kaum ningrat Jacques Antoine Marie Cazalès dan pendeta Jean-Sifrein Maury memimpin yang kelak dikenal sebagai sayap kanan yang menentang revolusi. "Royalis Demokrat" atau Monarchien, bersekutu dengan Necker, cenderung mengorganisir Perancis sejajar garis yang mirip dengan model Konstitusi Inggris: mereka termasuk Jean Joseph Mounier, Comte de Lally-Tollendal, Comte de Clermont-Tonnerre, dan Pierre Victor Malouet, Comte de Virieu.
"Partai Nasional" yang mewakili faksi tengah atau kiri-tengah majelis tersebut termasuk Honoré Mirabeau, Lafayette, dan Bailly; sedangkan Adrien Duport, Barnave dan Alexander Lameth mewakili pandangan yang lebih ekstrem. Yang hampir sendiri dalam radikalismenya di sisi kiri adalah pengacara Arras Maximilien Robespierre.
Sieyès memimpin pengusulan legislasi pada masa ini dan berhasil menempa konsensus selama beberapa waktu antara pusat politik dan pihak kiri.
Di Paris, sejumlah komite, wali kota, majelis perwakilan, dan distrik-distrik perseorangan mengklaim otoritas yang bebas dari yang. Kelas menengah Garda Nasional yang juga naik pamornya di bawah Lafayette juga perlahan-lahan muncul sebagai kekuatan dalam haknya sendiri, begitupun majelis yang didirikan sendiri lainnya.
Melihat model Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, pada tanggal 26 Agustus 1789, majelis mendirikan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warganegara. Seperti Deklarasi AS, deklarasi ini terdiri atas pernyataan asas daripada konstitusi dengan pengaruh resmi.

Ke arah konstitusi

Untuk diskusi lebih lanjut, lihat Ke arah Konstitusi.
Majelis Konsituante Nasional tak hanya berfungsi sebagai legislatur, namun juga sebagai badan untuk mengusulkan konstitusi baru.
Necker, Mounier, Lally-Tollendal, dll tidak berhasil mengusulkan sebuah senat, yang anggotanya diangkat oleh raja pada pencalonan rakyat. Sebagian besar bangsawan mengusulkan majelis tinggi aristokrat yang dipilih oleh para bangsawan. Kelompok rakyat menyatakan di hari itu: Perancis akan memiliki majelis tunggal dan unikameral. Raja hanya memiliki "veto suspensif": ia dapat menunda implementasi hukum, namun tidak bisa mencabutnya sama sekali.
Rakyat Paris menghalangi usaha kelompok Royalis untuk mencabut tatanan baru ini: mereka berbaris di Versailles pada tanggal 5 Oktober 1789. Setelah sejumlah perkelahian dan insiden, raja dan keluarga kerajaan merelakan diri dibawa kembali dari Versailles ke Paris.
Majelis itu menggantikan sistem provinsi dengan 83 département, yang diperintah secara seragam dan kurang lebih sederajat dalam hal luas dan populasi.
Awalnya dipanggil untuk mengurusi krisis keuangan, hingga saat itu majelis ini memusatkan perhatian pada masalah lain dan hanya memperburuk defisit itu. Mirabeau kini memimpin gerakan itu untuk memusatkan perhatian pada masalah ini, dengan majelis itu yang memberikan kediktatoran penuh dalam keuangan pada Necker.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar